MATERI METODOLOGI STUDI ISLAM (MSI)
PEMBAHASAN
PARADIGMA
ILMU-ILMU ISLAMI
Istilah
paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma dapat
didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang
ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist
works). Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta
partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang
dapat dianggap absah maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan
dan menginterpretasikan data. Tegasnya setiap keputusan tentang apa yang
menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma.
paradigma adalah cara
masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan kenyataan.
Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat
mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan,
pengalaman, serta pilihan-pilihan
Robert
Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat, paradigma
sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan
oleh George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan yang
mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh salahsatu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Fungsi paradigma
ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami
realitas Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi
pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada
gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan
realitas pendidikan.
Ilmu
adalah hasil pelaksanaan perintah tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam
raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyikapan tabir atas rahasia-Nya.
Garis argumen ini dijelaskan oleh Ibnu Rusyd,seorang filosof muslim.
Dalam
bahasa arab, kata ‘ilmu’ satu akar kata dengan kata alam (bendera atau lambang), alamah
(alamat atau pertanda), dan alam (jagad
raya, univers). Ketiga perkataan ini : alam,alamah
dan alam, mewakili gejala yang harus
di ketahui menjadi objek pengetahuan.
Islam
adalah agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia,
merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di
dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial:
Berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman :
” Sesungguhnya Al-Qur’an ini
memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS. 17:9).
Islam
adalah urusan yang sederhana. Islam bertujuan menciptakan “perdamaian” melalui
kepasrahan kepada “kehendak Illahi” inilah hakikat makna Islam. Tujuan ini
dicapai melalui keimanan kepada Allah Yang Maha Esa dan mengakui kerasulan
Muhammad Saw yang diikrarkan melalui dua kalimah Syahadat. Aspek-aspek ritual
keimanan, yang kita kenal dengan Rukun Iman dikemas dalam ibadah-ibadah pokok
yang dikenal sebagai Rukun Islam.
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa
agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari
segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada
dalam al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan
pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran
dan ilmu pengetahuan manusia. Paradigma ini memerintahkan manusia untuk
membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah
itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117).
Firman Allah SWT:
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 126).
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Qs. ath-Thalaq [65]: 12).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah Saw (w. 632 M) yang meletakkan Aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah Saw terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim.”
Maka Rasulullah Saw segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya…” [HR. al-Bukhari dan an-Nasa`i] (Al-Baghdadi, 1996: 10).
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Tentang kejayaan iptek Dunia Islam lihat misalnya M. Natsir Arsyad, 1992; Hossein Bahreisj, 1995; Ahmed dkk, 1999; Eugene A. Myers 2003; A. Zahoor, 2003; Gunadi dan Shoelhi, 2003).
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan:
1. Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan.
2. Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3. Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang Par excellent, sempurna. Segala aspek kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di dalam Islam, diarahkan untuk memanusiakan manusia, dengan bahasa lain untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Manusia adalah makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan, selalu condong kepada kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan paradigm Ilmu Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadapa dikotomi ilmu agama dan ilmu nonagama. Pada dasarnya, ilmu-ilmu tersebut hanya dapat di bedakan untuk kepentingan analisis, bukan untuk dipisahkan apalagi di pertentangkan. Dalam sejarah, tercatat ulama yang mendalami agama dapat menjadi filosof dan dokter, seperti Ibnu sina, Atas dasar paradigma tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar